Merenungi Lamunan Hati
Sehabis shalat zuhur di surau dan ngobrol melepas rindu sejenak dengan tetangga-tetanggaku sedari kecil, akupun kemudian berpamitan pada Ayah untuk sejenak berleyeh-leyeh ditepi danau Singkarak. Sekedar untuk menikmati birunya danau dan syahdunya suasana perkampungan. Apalagi hari ini angin sepoi-sepoi bertiup begitu sejuknya dan langit berwarna biru cerah dengan matahari yang tidak terlalu terik terasa. Sempurna untuk bernostalgia menikmati tempatku bermain sedari kecil dulu.
Danau Singkarak sumber: pribadi |
Setelah tanganku puas mencipratkan air dan iseng menendang-nendang kerikil ke tepi danau, aku lalu berjalan menuju pondok saung kecil yang ada di persawahan yang letaknya hanya sekitar lima meter dari pinggir danau. Setelah melepas sendal jepit, aku kemudian duduk bersandar sembari berselonjor di saung menghadap danau. Benar-benar suasana yang begitu damai. Tak pernah kujumpai suasana seperti ini di kota tempatku merantau di seberang pulau sana.
Sembari memandangi birunya danau, tambak-tambak ikan, dan nelayan yang mengarungi danau dengan sampannya, aku lalu menerawang ke angkasa. Terpikir mengenai usiaku yang beberapa waktu lagi sudah menginjak kepala tiga. Beberapa teman-temanku juga sudah banyak yang berkeluarga. Bahkan, juga ada kiriman undangan pernikahan lagi dari sahabatku yang insya Allah akan dihelat masih dalam bulan Syawal ini. Sementara diriku sendiri masih belum terlihat 'hilal' nya.
Aku lalu teringat saat tanteku menawarkan untuk membantu berkenalan dengan anak temannya yang juga bekerja di Jakarta. Menurutnya dia orangnya baik, cantik, dan juga pintar. Tanteku lalu menunjukkan padaku akun media sosial anak temannya itu. Memang benar, selain parasnya yang anggun, ia ternyata juga jebolan bachelor degree bidang ekonomi dari salah satu universitas di Inggris. Infonya sekarang ia aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial dan peduli lingkungan, disamping kesehariannya sebagai konsultan keuangan.
Tak disangka ternyata sebelumnya tanteku sudah duluan mengenalkan profilku pada anak temannya itu. Setelah bercerita dengannya, tanteku bilang, ia tampak tertarik dan cukup antusias untuk berkenalan denganku lebih jauh lagi. Tetapi aku tak mengiyakan ataupun menolak. Aku hanya menjawab akan pikir-pikir dulu, karena rasanya hatiku belum sreg. Lagipula bagiku mencari pendamping hidup yang pas harus melalui pertimbangan yang matang dan tidak dapat diputuskan secara gegabah.
Tak disangka ternyata sebelumnya tanteku sudah duluan mengenalkan profilku pada anak temannya itu. Setelah bercerita dengannya, tanteku bilang, ia tampak tertarik dan cukup antusias untuk berkenalan denganku lebih jauh lagi. Tetapi aku tak mengiyakan ataupun menolak. Aku hanya menjawab akan pikir-pikir dulu, karena rasanya hatiku belum sreg. Lagipula bagiku mencari pendamping hidup yang pas harus melalui pertimbangan yang matang dan tidak dapat diputuskan secara gegabah.
Lamunanku lalu dibuyarkan oleh daun kering yang tiba-tiba hinggap wajahku. Daun itu jatuh dari atap saung yang memang tersusun sedemikian rupa dari dedaunan kering nan panjang dan diikat membentuk atap. Dari sela-selanya terlihat sedikit cahaya matahari masuk menembus celah-celah atap. Meskipun sederhana, atap pondok sudah sangat cukup untuk berlindung dari sinar matahari. Semakin menambah kesejukan, juga ada pepohonan besar yang terletak tak jauh dari sini.
Aku kemudian mengeluarkan HP dari saku dan melihat jam di layar HP ku yang masih belum menunjukkan pukul 1 siang. Sembari melihat jam, aku lalu memandangi foto keluargaku yang jadi wallpaper HP. Ada ayah dan ibu dengan senyumnya yang selalu mendamaikan, lalu dibelakangnya ada aku dan adik laki-laki ku yang masih sekolah di MTs dan Adik perempuanku yang sudah kelas XI SMA di Padang Panjang. Sejenak kemudian aku teringat saat sekitar dua minggu lalu singgah sejenak membeli obat flu di apotek untuk adik perempuanku yang juga sekalian akan kujemput dari asramanya di Padang Panjang. Karena sudah masuk libur lebaran dan juga tak tega membiarkan dirinya yang sakit itu naik turun angkutan umum untuk sampai di kampung, aku lalu pergi menjemputnya. Ayahku dapat info dari pengawas asrama kalau adikku merasa tidak enak badan. Mungkin karena kelelahan setelah lewat masa ujian, ataupun karena sudah kadung rindu dengan keluarganya. Sudah dua bulan ini adikku memang tak bisa pulang kampung karena sedang fokus untuk persiapan ujian naik kelas.
Tak lama kemudian, aku singgah sejenak di sebuah apotek dipinggir jalan untuk membeli obat adikku. Setelah masuk, kemudian aku menuju meja pelayanan dan menunggu apoteker keluar, sembari berdiri dan memutar-mutar kunci mobil. Sejenak kemudian, seorang perempuan kemudian keluar dari balik lemari apotek yang penuh dengan produk obat-obatan.
"Assalamu'alaikum, selamat datang" sapanya. Sambutannya begitu hangat dengan kedua tangannya yang menggunakan kaos tangan itu ia katupka didada menyambutku seperti hendak bersalaman dari jauh. Sebuah masker yang sudah dibuka menjulur diatas hijab lebarnya dan sebagian tali maskernya masih membelit di leher. Tangan kanannya sudah siap dengan sebuah pulpen untuk menulis secarik kertas yang sudah terletak di meja.
"Ada yang bisa dibantu, uda?"
Aku kemudian menjelaskan keluhan adikku padanya. Setelah mengambil beberapa tablet obat, ia lalu memasukkannya kedalam kantong plastik kecil berwarna biru dan menjelaskan aturan minumnya padaku. Aku hanya lebih banyak mengangguk, sementara pandangannya lebih banyak tertunduk dengan gestur ramah penuh senyuman.
Sejenak kemudian entah mengapa, aku kemudian merasa takjub. Aura keteduhan seperti terpancar dari wajahnya, tak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Aku kemudian mencoba berusaha tak salah tingkah hingga aku kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan setelah membayar di kasir. Aku merasa aneh sembari terus bertanya-tanya tentang kejadian yang terjadi pada diriku. Kejadian yang entah mengapa tiba-tiba membuat hati ini berdesir. Aku berpikir, mungkin ini tanda-tanda bahwa memang diriku ini sudah tidak cocok lagi untuk terus sendiri.
Aku kemudian mengeluarkan HP dari saku dan melihat jam di layar HP ku yang masih belum menunjukkan pukul 1 siang. Sembari melihat jam, aku lalu memandangi foto keluargaku yang jadi wallpaper HP. Ada ayah dan ibu dengan senyumnya yang selalu mendamaikan, lalu dibelakangnya ada aku dan adik laki-laki ku yang masih sekolah di MTs dan Adik perempuanku yang sudah kelas XI SMA di Padang Panjang. Sejenak kemudian aku teringat saat sekitar dua minggu lalu singgah sejenak membeli obat flu di apotek untuk adik perempuanku yang juga sekalian akan kujemput dari asramanya di Padang Panjang. Karena sudah masuk libur lebaran dan juga tak tega membiarkan dirinya yang sakit itu naik turun angkutan umum untuk sampai di kampung, aku lalu pergi menjemputnya. Ayahku dapat info dari pengawas asrama kalau adikku merasa tidak enak badan. Mungkin karena kelelahan setelah lewat masa ujian, ataupun karena sudah kadung rindu dengan keluarganya. Sudah dua bulan ini adikku memang tak bisa pulang kampung karena sedang fokus untuk persiapan ujian naik kelas.
Tak lama kemudian, aku singgah sejenak di sebuah apotek dipinggir jalan untuk membeli obat adikku. Setelah masuk, kemudian aku menuju meja pelayanan dan menunggu apoteker keluar, sembari berdiri dan memutar-mutar kunci mobil. Sejenak kemudian, seorang perempuan kemudian keluar dari balik lemari apotek yang penuh dengan produk obat-obatan.
"Assalamu'alaikum, selamat datang" sapanya. Sambutannya begitu hangat dengan kedua tangannya yang menggunakan kaos tangan itu ia katupka didada menyambutku seperti hendak bersalaman dari jauh. Sebuah masker yang sudah dibuka menjulur diatas hijab lebarnya dan sebagian tali maskernya masih membelit di leher. Tangan kanannya sudah siap dengan sebuah pulpen untuk menulis secarik kertas yang sudah terletak di meja.
"Ada yang bisa dibantu, uda?"
Aku kemudian menjelaskan keluhan adikku padanya. Setelah mengambil beberapa tablet obat, ia lalu memasukkannya kedalam kantong plastik kecil berwarna biru dan menjelaskan aturan minumnya padaku. Aku hanya lebih banyak mengangguk, sementara pandangannya lebih banyak tertunduk dengan gestur ramah penuh senyuman.
Sejenak kemudian entah mengapa, aku kemudian merasa takjub. Aura keteduhan seperti terpancar dari wajahnya, tak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Aku kemudian mencoba berusaha tak salah tingkah hingga aku kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan setelah membayar di kasir. Aku merasa aneh sembari terus bertanya-tanya tentang kejadian yang terjadi pada diriku. Kejadian yang entah mengapa tiba-tiba membuat hati ini berdesir. Aku berpikir, mungkin ini tanda-tanda bahwa memang diriku ini sudah tidak cocok lagi untuk terus sendiri.
Sembari berusaha melupakan peristiwa barusan, aku lalu melanjutkan perjalanan menuju sekolah adikku yang terletak sekitar 15 km dari rumah. Dari apotek tadi sebenarnya juga sudah hampir sampai. Kemudian tak lama aku lalu tiba di depan gerbang sekolah dan masuk kedalamnya untuk kemudian memarkirkan kendaraan. Tak susah mencari tempat parkir disini. Begitu masuk, hamparan lapangan sekolah yang luasnya hampir setengah lapangan sepakbola langsung terlihat didepan mata. Pepohonan tinggi besar berdaun lebat tumbuh mengelilingi hampir setiap sisi halaman sekolah, menyisakan satu sisi tak berpohon untuk gedung guru berlantai satu dengan atap bergonjong khas rumah tradisional Minangkabau. Gedung ini terletak didepan lapangan dan ditemani tiang bendera yang membuatnya tampak gagah bak primadona. Sementara itu bangunan lain seperti kelas dan mushalla berjejer dibelakang gedung guru hingga asrama putri dipaling belakang. Sementara itu asrama putra terletak disisi lapangan sebelah kiri dekat dengan gerbang utama, jauh sekali dari asrama putri. Sekolah ini memang sangat luas dan rasanya pasti capek sekali jika harus jalan dari gerbang depan ke asrama putri. Untung saja kota Padang Panjang bersuhu dingin, sehingga tak perlu keringat banyak ketika aku jalan siang hari disini.
Sesampainya di pos asrama, aku lalu pergi ke depan asrama putri dan melapor ke Pak Yamin, selaku pengawas asrama. Sementara itu menyadari abangnya datang, adikku langsung melonjak kegirangan dan lantas berpamitan pada teman-temannya. Suasana sekolah ini begitu indah dan religius. Kulihat disekeliling asrama, siswi-siswi yang masih menggunakan seragam sekolah tetap menyandang Al-Qur'an dan buku-buku pelajaran di tangan mereka. Padahal kegiatan pembelajaran sudah usai sedari tadi. Begitu juga dengan beberapa teman-teman adikku yang sedang membaca Al-Qur'an menunggu kedatangan keluarga mereka yang menjemputnya.
Setelah di mobil, aku lalu memberi obat yang tadi dibeli di apotek untuk diminum adikku dan memberikan jaket yang tadi kupakai untuk dipakai adikku yang sedang kurang sehat itu. Tetapi kulihat wajahnya senang-senang saja meskipun hidungnya memang mampet karena pilek. Tangannya selalu memegang tisu dan tampaknya ia benar-benar sedang sakit. Barangkali sakitnya sedikit terobati setelah ia melihat abangnya yang sudah lama tak dijumpainya.
Duduk disampingnya, ada teman asramanya yang ditawari adikku untuk pulang bareng dengannya. Karena searah, ia pun juga ikut dengan kami. Rumahnya di Batipuh, yang daerahnya masih sebelum rumah kami. Oleh karena itu, aku akan mengantarnya duluan ke rumahnya. Setelah semua dirasa tak ada yang tertinggal, kami lalu pergi meninggalkan SMA untuk kembali ke rumah kami di Singkarak.
Setelah sekitar 15 menit perjalanan, sesuai petunjuk teman adikku, aku kemudian banting setir berbelok dari jalan utama ke jalan perkampungan yang lebih kecil menuju rumah teman adikku itu. Meskipun begitu, jalanannya sudah mulus karena dicor beton. Di kiri kanan jalan beberapa rumah warga terlihat mengkilap tanda baru di cat. Beberapa rumah juga tampak dipenuhi mobil-mobil berplat luar Sumatera Barat. Artinya memang tak lama lagi lebaran akan segera tiba.
Sekitar 100 meter dari jalan utama tadi, kami kemudian sampai dirumahnya. Rumahnya berdinding kayu yang di pernis berwarna coklat mengkilap. Letak bangunan rumahnya lebih tinggi dari jalanan karena kontur tanah yang melereng. Sementara itu halamannya dipagari tanaman merambat seperti yang acap dipakai untuk dinding labirin ditaman-taman. Bedanya pagar ini tidak mengular panjang dan sudah dipotong pendek dan rendah.
Setelah pamitan padaku dan sedikit tersengal-sengal karena kecapaian menapaki jalan menuju pintu rumah yang sedikit mendaki, teman adikku itu lalu disambut oleh seseorang dari dalam rumah. Aku, yang masih berdiri dibelakang bagasi mobil setelah membantu mengeluarkan barang, melihat seseorang yang rasanya seperti tidak asing. Setelah diingat-ingat ternyata dia adalah apoteker yang ada di tempatku membeli obat adikku tadi pagi. Setelah sama-sama terpaku karena saling mengingat-ingat wajah, ia lalu berterima kasih karena telah mengantar adiknya ke rumah dan menawarkan pada kami untuk singgah beristirahat sejenak. Aku lalu hanya tersenyum sembari menolak halus tawaran itu dan izin kembali pamit meneruskan perjalanan ke Singkarak yang jaraknya juga hanya sekitar 15 menit lagi.
Setelah pamitan padaku dan sedikit tersengal-sengal karena kecapaian menapaki jalan menuju pintu rumah yang sedikit mendaki, teman adikku itu lalu disambut oleh seseorang dari dalam rumah. Aku, yang masih berdiri dibelakang bagasi mobil setelah membantu mengeluarkan barang, melihat seseorang yang rasanya seperti tidak asing. Setelah diingat-ingat ternyata dia adalah apoteker yang ada di tempatku membeli obat adikku tadi pagi. Setelah sama-sama terpaku karena saling mengingat-ingat wajah, ia lalu berterima kasih karena telah mengantar adiknya ke rumah dan menawarkan pada kami untuk singgah beristirahat sejenak. Aku lalu hanya tersenyum sembari menolak halus tawaran itu dan izin kembali pamit meneruskan perjalanan ke Singkarak yang jaraknya juga hanya sekitar 15 menit lagi.
Jika diingat-ingat kembali peristiwa yang mengagetkan dan kebetulan itu, dunia ini terasa sempit sekali. Tetapi tentu semua pastinya telah diatur oleh sang Ilahi dan pastinya ada hikmahnya. Tak ubahnya seperti kisah saat aku masih duduk di bangku SMP dulu, saat seumuran adik laki-lakiku sekarang. Saat itu aku jatuh cinta pada teman wanita sekelasku. Tetapi saat itu aku hanya memilih untuk diam memendam perasaanku sampai akhirnya kami bertemu lagi di SMA yang sama. Saat SMA aku coba utarakan apa yang menjadi isi hatiku padanya. Berharap ia menyambutku dengan hati yang juga terbuka. Tetapi apalah daya, ternyata perasaan ini hanya bertepuk sebelah tangan. Hanya menghasilkan kesedihan dan kegalauan semata pada diriku yang rasanya hancur sekali waktu itu.
Singkat cerita akhirnya kami pun sama-sama lulus SMA dan berpisah tempat kuliah. Hari-haripun berlalu berganti tahun hingga beberapa waktu yang lalu aku tak sengaja bertemu dengannya kembali disebuah pusat perbelanjaan. Ternyata sekarang dia juga sudah bekerja di Jakarta. Lantas kami ngobrol sejenak dan kemudian saling berkomunikasi kembali setelah sempat terputus beberapa lama. Kali ini dia begitu terbuka dan tidak memandangku sebelah mata lagi seperti zaman sekolah dulu. Akan tetapi, aku merasa sudah tidak ingin lagi melanjutkan perjuanganku dulu untuk menaklukkan hatinya. Entah mengapa, sulit juga untuk dijelaskan. Sederhananya, barangkali memang tidak jodohnya.
Singkat cerita akhirnya kami pun sama-sama lulus SMA dan berpisah tempat kuliah. Hari-haripun berlalu berganti tahun hingga beberapa waktu yang lalu aku tak sengaja bertemu dengannya kembali disebuah pusat perbelanjaan. Ternyata sekarang dia juga sudah bekerja di Jakarta. Lantas kami ngobrol sejenak dan kemudian saling berkomunikasi kembali setelah sempat terputus beberapa lama. Kali ini dia begitu terbuka dan tidak memandangku sebelah mata lagi seperti zaman sekolah dulu. Akan tetapi, aku merasa sudah tidak ingin lagi melanjutkan perjuanganku dulu untuk menaklukkan hatinya. Entah mengapa, sulit juga untuk dijelaskan. Sederhananya, barangkali memang tidak jodohnya.
Danau Singkarak sumber: Pribadi |
"Abang!"
Tiba - tiba ada suara yang tak asing membuyarkan lamunanku, suara yang ternyata adalah suara adik laki-lakiku yang juga tiba-tiba sudah berdiri disampingku.
"Ayah nyuruah pulang, Bang. Ado tamu tibo ka rumah." (Ayah menyuruhmu pulang, Bang. Ada tamu datang ke rumah)
"Tamu? Siapo tu?" (Tamu? Siapa itu?)
"Teman Ayah waktu sekolah dulu dari Batipuh. Ingin berlebaran ke rumah." Jawab adikku.
"Kata Ayah, dia Ayahnya teman kakak yang kemaren abang antar dari asrama SMA ke rumahnya, barengan dengan Kakak"
Sontak aku langsung kaget karena teringat dengan kejadian dua minggu yang lalu.
"Lalu kenapa Abang disuruh pulang sama Ayah?"
Adikku hanya tersenyum, tak menjawab pertanyaanku. Ia kemudian menarik tanganku untuk segera turun dari saung. Dan kemudian berjalan mendahuluiku, meninggalkanku yang berjalan dengan penuh tanya.
Komentar
Posting Komentar